Jumat, 29 April 2016

Catatan Penulis



Kesalahan Memilih Manajer Yang  Berdampak Buruk Bagi Perusahaan


Fahmy- Kepantasan seorang manajer yang ditunjuk oleh manajemen puncak pada sebuah perusahaan besar untuk menempati posisi tersebut terus dipertanyakan. Sejumlah pihak menganggap perekrutan yang dilakukan oleh pihak HRD (Human Resources Development) telah melanggar praktik perusahaan yang baik dengan menunjuk orang-orang yang tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk mengisi posisi strategis di beberapa perusahaan.
Lebih jauh, menurut mereka jabatan strategis semestinya tidak diisi dengan orang-orang yang coba-coba. Jika tetap dipaksakan, maka hasilnya juga pasti coba-coba.


Di sisi lain, pimpinan perusahaan yang dilibatkan dalam perekrutan untuk jabatan manajer juga sudah berupaya menjelaskan bahwa direksi dan komisaris yang ditunjuk adalah orang-orang yang sudah teruji integritasnya serta memiliki pendidikan dan pengalaman yang memadai. Integritas adalah yang paling penting, terutama untuk jabatan Direktur karena merekalah nanti yang akan menjadi pengawas jalannya perusahaan.
Selain itu, cara berpikir yang kurang tepat juga bisa mempengaruhi kualitas pengambilan keputusan. Apa saja cara berpikir yang kurang tepat tersebut?


Seringkali untuk jabatan manajer publik, unsur politis banyak bermain. Sebetulnya hal ini tidak aneh dan secara logika berpikir pun bisa diterima. Pengambil keputusan tentu saja akan cenderung memilih orang-orang yang memiliki loyalitas dan kedekatan secara ideologis dengan dirinya. Namun menjadikan politik sebagai pertimbangan utama di atas persyaratan baku pengangkatan yang sudah ditetapkan tentu saja tidak bijak.
Terjadi dibanyak perusahaan bahwa penunjukkan manajer berdasarkan jatah atau sistem urut kacang. Seseorang diangkat jadi manajer karena memang dia dirasa sudah cukup senior dan sudah waktunya naik jadi manajer. Padahal, lama kerja tidak menjamin bahwa seseorang akan menjadi seorang manajer yang andal. Artinya seseorang yang akan menjadi manajer adalah orang yang bukan hanya berpenglamaan tetapi juga bepengalaman.


Ada beberapa bias dalam berpikir yang sering mengganggu keobjektifan dalam pemilihan manajer. Diantaranya adalah “hallo effect,” yakni pola pikir menggeneralisasi salah satu karakter yang dimiliki seseorang. Hanya karena melihat orang itu memiliki salah satu karakter yang dicari maka pengambil keputusan kemudian menganggap bahwa semua karakter sang calon sudah baik.
Penjelasan tersebut ternyata tidak menyurutkan sejumlah pertanyaan. Apalagi akhir-akhir ini beberapa pihak karyawan memberitakan adanya manajer baru yang terpilih dianggap kurang pantas untuk jabatan seorang manajer, padahal yang bersangkutan bukan seorang manajer di tempat kerja sebelumnya. Jika kamampuan sebagai manajer terutama peran leadership tidak sesuai dengan kapasitas seorang manajer , kenapa orang dengan kemampuan yang tidak sesuai bisa lolos?
Informasi yang ada memang masih simpang siur. Namun jika hal itu benar, maka pertanyaannya adalah apakah proses perekrutan yang dilaksanakan selama ini sudah dilakukan dengan tepat?
Sebenarnya kalau coba kita telaah lebih jauh, perekrutan atau pergantian manajer mulai dari level terendah, seperti supervisor atau bahkan lurah, sampai ke level tertinggi seperti direksi, komisaris dan bahkan menteri, adalah hal yang lumrah terjadi. Penyebab pergantian itu bisa bermacam-macam. Bisa karena posisi manajer yang masih kosong, manajer yang lama mendapat promosi, masa jabatannya habis, ataupun sengaja diberhentikan dengan alasan tertentu. Sebagai konsekuensinya posisi manajerial yang ditinggalkan akan diisi oleh orang baru yang dipilih oleh manajemen puncak (top management) ataupun pemegang saham.
Namun sering kali hasil penunjukkan manajer baru menimbulkan pro dan kontra. Ada pihak yang setuju dengan pilihan manajemen puncak/pemegang saham tersebut. Mereka merasa bahwa pilihan manajemen puncak sudah pas. Orang yang dipilih adalah orang yang sudah teruji secara pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan perilaku. Oleh sebab itu pantas ditempatkan sebagai manajer.
Di sisi lain, sering juga ditemui adanya pihak yang tidak puas dengan pilihan manajemen terutama dengan jabatan manajer tersebut. Reaksi ketidaksetujuan itu bisa terlihat dari prilaku diam, sinis, tidak memiliki pemikiran yang konseptual berdasarkan dengan teknologi yang sudah maju, dan bahkan ada juga ada yang secara aktif mempertanyakan dasar pengambilan keputusan yang dilakukan oleh manajemen puncak atau pemegang saham.
Ya, memutuskan siapa yang akan diangkat menjadi manajer adalah salah satu tugas teramat penting dari manajemen puncak atau pemegang saham. Jika keputusan yang diambil tepat, maka akan berdampak positif bagi kinerja perusahaan. Namun jika salah, biaya yang ditimbulkan tidak sedikit. Mulai dari biaya yang tidak tercatat, seperti opportunity cost dan penurunan moral karyawan, sampai biaya yang tercatat, seperti biaya business turnaround dan bahkan mungkin biaya untuk menutup usaha.
Risiko ini sepertinya sudah cukup disadari atau bisa jadi sebaliknya oleh para pengambil keputusan (manajemen puncak atau pimpinan perusahaan). Namun anehnya kesalahan pemilihan manajer tetap terjadi. Parahnya, akibat kesalahan itu sering tidak bisa teridentifikasi secara cepat. Efek yang ditimbulkan baru terlihat beberapa waktu kemudian, yakni ketika kinerja perusahaan menurun. Bahkan ada pernyataan kalau pihak manajemen puncak yang terlanjur salah memilih/ merekrut seorang manajer yang mengatakan "Ibarat nasi sudah jadi bubur, sekarang bagaimana caranya kalau bubur tersebut bisa dibuat dan dimakan menjadi enak". Mungkin ada yang bertanya-tanya apakah mungkin bubur yang dibuat tersebut harus dimakan setiap hari? Jawaban terbaik adalah membuat baru nasi yang lebih enak daripada bersusah payah menjadikan bubur tersebut menjadi enak, yang dimaksud adalah mengganti SDM yang lebih baik daripada bersusah payah harus memperbaiki kinerjanya.
Secara mekanisme, kesalahan pengambilan keputusan bisa di trace back dari proses pengambilan keputusan yang dijalankan. Apakah dalam pengambilan keputusan tersebut semua informasi yang relevan sudah dikumpulkan dan semua alternatif sudah dipertimbangkan? Ini baru dari sisi proses pengambilan keputusan.

1. Pertimbangan politis melebihi persyaratan baku yang sudah ditetapkan
Kerap kali dalam perekrutan seorang manajer mempunyai tujuan dan maksud tertentu yang bersifat kontroversi. Adanya perbedaan sikap bahkan tujuan dalam struktur manajemen , padahal perusaahan sudah memiliki visi dan misi yang harus diwujudkan bukan sebaliknya. 
2. Menjadi manajer karena memang sudah gilirannya
Ada orang yang berpengalaman, ada juga yang berpenglamaan. Harusnya yang dipilih adalah yang sudah berpengalaman dan memiliki kompetensi yang memadai. Sedangkan berpenglamaan artinya orang tersebut sudah lama di suatu posisi, tapi kompetensinya tidak berkembang.
3. Bias 
Disamping itu juga ada “similar to me error,” yakni menilai lebih untuk orang tertentu karena memiliki karakteristik yang relatif sama dengan pengambil keputusan. Manajemen puncak/pemegang saham yang mengalami similar to me error akan cenderung memilih manajer yang memiliki kesamaan karakteristik tertentu dengan dirinya walaupun orang tersebut belum tentu kompeten.
Terakhir adalah stereotyping, yakni menggeneralisir sekelompok orang dengan cara memberi label karakteristik tertentu pada semua anggotanya. Misalnya memandang bahwa orang Jawa rajin bekerja, sementara orang melayu cenderung malas. Tentu saja stereotyping tidak dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Jika pengambil keputusan memiliki stereotype tertentu maka dia akan mengabaikan orang tertentu hanya karena orang tersebut berasal dari kelompok yang memiliki label negatif di mata si pengambil keputusan.
Itulah tiga kesalahan dalam cara berpikir yang bisa mempengaruhi kualitas pengambilan keputusan. Disamping memperbaiki mekanisme pengambilan keputusan, memahami tiga kesalahan berpikir tersebut dan berusaha untuk menghindarinya akan sangat membantu para pengambil keputusan untuk memilih personil yang tepat sebagai manajer.

Penulis: Fahmy